Ini problem yang hampir menyangkut siapa saja. Halitosis atau bau
mulut acap kali menjadi pertanda adanya penyakit kronis tertentu. Bisa
sakit gula, sinusitis, pengerasan hati, atau gangguan fungsi ginjal. Namun,
yang paling sering justru menyangkut gigi dan gusi.
Dinda gadis cantik rupawan tanpa cela. Namun, setengah mati ia berusaha,
jangankan pacar, teman pun menjaga jarak. Ketika ia mengeluh pada sobat
kentalnya, baru ia mendapat jawaban, "Sori, kurasa bau mulutmu itu problemnya."
Jarang sekali orang menyadari bahwa mulutnya mengeluarkan abab (hawa) tak
sedap karena memang sulit mengecek bau mulut sendiri. Orang lain pun enggan
mengatakannya, kecuali kita bertanya. Atau orang lain itu akrab dengan kita.
Penyebab bau mulut bisa amat sederhana dan langsung. Petai, jengkol, duren,
bawang putih, siapa yang tahan? Tetapi karena tidak bersifat permanen, dan
penyebabnya jelas, si "penderita" pun tidak serius memikirkannya. Kebiasaan
anak kecil memasukkan benda-benda asing, seperti kertas tisu, ke dalam
hidungnya, juga dapat mengakibatkan terkumpulnya bakteri pada sumbatan
tisu itu, sehingga setelah beberapa lama dapat menimbulkan bau. Bau itu
tidak selalu hanya pada hidung, bahkan seolah-olah dari sekujur tubuhnya.
Manis menusuk
Namun sering kali, menurut dr. H. Chudahman Manan, D.S.P.D, K.G.E.H,
spesialis pencernaan pada RSCM, Jakarta, bau mulut merupakan gejala dari
kelainan organik akibat penyakit kronis. Bila dokter yang telah berpengalaman
mencium bau manis menusuk ketika memasuki kamar dengan sederet penderita,
ia akan segera menduga adanya penderita sirosis (pengerasan hati) yang sudah
mencapai tahap menjelang koma. Gangguan lever yang kronis sering menyebabkan
halitosis (bau mulut) akibat metabolisme protein dan lemak tidak berjalan semestinya
lantaran terganggunya fungsi hati. Maka dari komponen-komponen itu terbentuk
metabolik yang dapat dikeluarkan lewat saluran pernapasan dengan bau spesifik.
Gangguan fungsi ginjal juga menyebabkan halitosis. Pada penderita terdapat kadar
ureum yang tinggi, yang kemudian beredar dalam darah. Melalui proses kimiawi,
dihasilkan amoniak yang berbau menyengat itu. Komponen ini kemudian masuk
ke dalam sistem pernapasan. Maka bau mulut penderita sedikit ke arah aroma amoniak.
Pada penderita diabetes pun, bila gula darahnya tak terkontrol dan mungkin juga tinggi,
bisa timbul halitosis. Baunya pun khas.
Bau mulut bisa juga disebabkan oleh penyakit yang tidak kronis. Misalnya saja gangguan
paru-paru. Pasien bronkhitis kronis, dengan penyakit paru-paru obstruksi di mana
biasanya telah terjadi infeksi-infeksi sekunder, biasanya juga menderita halitosis.
Gangguan THT, misalnya pasien yang mengalami sinusitis berat atau tonsilitis, juga
demikian. Bahkan penyakit maag pun dapat menimbulkan bau mulut, bila penyakit itu
karena kuman Helicobacter pylory. Ini akibat peranan kuman itu dalam metabolisme
amoniak. Hidup dalam lingkungan basa, ia sendiri mengandung enzim uriase yang
dapat mengubah amoniak.
Yang menarik, menurut dr. Manan, pada 30% pasien yang datang ke kamar
konsultasinya karena keluhan halitosis, masalahnya bersumber pada kejiwaan.
Pasien yang mengalami depresi dan memasuki tahap neurosis, akan mengalami
bermacam gejala. Salah satunya, hilangnya kepercayaan diri. Ia merasa orang
menghindarinya saat dia berbicara (padahal tidak) lalu mereka-reka penyebabnya
pasti karena bau mulutnya.
Yang pasti, halitosis juga sering dialami jika orang sulit buang air besar karena
produk metabolisme oleh kuman-kuman usus terhadap sisa-sisa makanan tertumpuk,
kemudian timbul gas-gas yang memberikan bau tak sedap itu.
Namun, diakui oleh dr. Manan, penyebab halitosis yang paling umum justru gigi.
Maklum saja, gigi termasuk organ tubuh yang kurang diperhatikan dengan baik.
Kecenderungan malas berobat ke dokter gigi dapat ditemui di semua lapisan masyarakat,
termasuk yang berpendidikan baik. Rupanya, perasaan gamang pada pencabutan gigi,
misalnya, masih menghinggapi banyak orang. Maka kalau ada keluhan sakit gigi,
diambil jalan tergampang: minum saja obat analgetik alias pengurang rasa sakit.
Padahal gigi berlubang yang tak terawat dengan baik akan membentuk abses
(pengumpulan nanah). Bakteri yang hidup di dalamnya pasti akan memetabolisasikan
jaringan-jaringan mati di situ, yang akhirnya akan menimbulkan bau.
Rajin rawat gigi
Jadi apa yang harus dilakukan seandainya kita sudah mendapat konfirmasi dari
orang lain, bahwa memang mulut kita berbau? Sebelum ke ahli yang lain, sebaiknya
konsultasi dulu ke dokter gigi, demikian anjuran Prof. Mel Rosenberg, Ph.D.
dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Tel Aviv, dalam Bad Breath, yang dimuat dalam
homepage British Dental Association di Internet. Bila tidak menemukan masalah
pada gigi dan mulut, saatnya kita berkonsultasi ke dokter spesialis THT. Bila belum
juga ditemukan masalahnya, barulah ke dokter ahli penyakit dalam karena
dikhawatirkan bau mulut itu merupakan bagian dari kelainan organ dalam tubuh.
Ketika akan berkonsultasi ke dokter gigi, jangan gunakan obat kumur, obat pengharum
mulut, merokok, mengunyah permen, makan, dan minum. Usahakan bau yang nanti
dihadapi oleh dokter gigi, memang bau yang tipikal kita idap, sehingga pelacakan
sumber baunya dapat dilakukan dengan benar. Pada orang dengan gigi dan gusi
yang sehat, bau itu biasanya berasal dari bagian terbelakang lidah. Dokter gigi
dapat melakukan pengecekan dengan mengusapkan sendok plastik ke daerah ini.
Kalau benar di situ sumbernya, akan dianjurkan untuk membersihkannya dengan
sikat gigi atau alat khusus pengerok lidah.
Dokter gigi mungkin akan membandingkan bau udara dari mulut dan hidung
penderita untuk menentukan sumber bau, dengan cara menutup salah satu dan
membaui yang lain. Namun, tidak semua dokter memandang ini cara yang efektif.
Dr. Manan, misalnya, meragukannya, karena rongga mulut dan hidung berhubungan,
baunya pun akan tercampur.
Kadangkala bau mulut disebabkan oleh gusi yang tidak sehat, terutama bila
mengusap bagian antara gigi dan gusi menimbulkan bau tak sedap. Meski dokter
gigi akan memberikan cara perawatan khusus sesuai kondisi yang diderita pasien,
kita sendiri sebagai pasien memegang peranan besar dengan melakukan perawatan
yang baik setiap hari. Karena itu Prof. Rosenberg menganjurkan:
* Periksakan gigi ke dokter gigi secara teratur.
* Bersihkan sela-sela gigi dengan dental floss, pilih yang netral tanpa pengharum.
Cek baunya. Bersihkan lagi kalau berbau.
* Gosok gigi dan bersihkan gusi secara teratur.
* Banyak minum.
* Kunyah permen karet bebas gula selama 1 - 2 menit, terutama bila mulut terasa
kering. Bisa juga kunyah daun peterselli, bunga cengkih, atau biji adas.
* Berkumur dan gosok gigi setelah makan atau minum produk susu, ikan, dan daging.
* Tanyakan kepada dokter gigi, obat kumur mana yang secara klinis telah terbukti
efektivitasnya dalam melawan bau mulut. Paling baik menggunakannya di saat
menjelang tidur malam.
* Makan lalap sayuran segar yang berserat.
* Tidak merokok karena mempertinggi risiko timbulnya bau mulut.
* Jika Anda memakai gigi palsu, saat malam hari rendam gigi palsu dalam cairan
antiseptik, kecuali bila dokter gigi Anda melarangnya.
Dari segi pencernaan pun anjuran dr. Manan tidak jauh berbeda. Serat tinggi pada
sayuran dan buah memperlancar buang air serta memperbaiki lapisan dalam saluran
pencernaan. Selain itu, olahraga secara teratur akan membuat gerak usus terpelihara
konstan. Dengan bagusnya gerakan usus, proses dari makan sampai buang air besar
akan berjalan normal. Maka, pada orang yang berolahraga secara teratur, jarang timbul
problem konstipasi alias sembelit.